SELAMAT DATANG DI WEB SAYA
Web 9B SMPN 4 Cimahi
* PERISTIWA PEMBERONTAKAN G 30S/PKI DAN CARA PENUMPASANNYA*
(Monumen Pancasila Sakti dibawangun untuk menghormati Ke 7 TNI AU dikenal dengan Pahlawan Revolusi) |
Pada
saat usia Republik Indonesia masih muda, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah
mencoba untuk merebut kekuasaan dan pemerintah Republik Indonesia yang sah.
Gerakan PKI itu dikenal dengan nama Pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan
tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia pada
Pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak
di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di
Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meninggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakan PKI.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meninggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakan PKI.
1.
SEBAB-SEBAB MUNCULNYA G 30S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat
membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan
tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik,
sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan
rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di
Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NV
.
.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa
Demokrasi Terpimpin. Di sarnping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan
diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik
Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas
mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam
tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk
menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya. Hal ini tampak
dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh
presiden. PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok.
Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan ir.Surachman (seorang
tokoh PKI ) ke dalam tubuh PNI.Setelah PKI merasa cukup kuat,
dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat
peringatan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga
menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim
(Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat,
bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan
perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun
ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul
di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan
terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
2.
PERISTIWA G3OS/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G3OS/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan
presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dan tim dokter RRC ada
kemungkinan Presiden Soekamo akan lumpuh atau meninggal. Setelah
mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung
mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan
diserahkan kepada kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai Ketua
Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu
menghubungi kadernya di kalangan ABRI, seperti Brigjen Supardjo, Letnan
Kolonel Untung Dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dan TNI-AL, Marsekal
Madya Omar Dani dan TNT-AU dan Kolonel Anwar dan Kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah
beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus
berpindah dan satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian
pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965
secara fisik dilakukan dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan
pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh
gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung
mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota
gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965.
Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan
pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dan
Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya
dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu satu tempat yang terletak
di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma.
Selanjutnya para korban itu dimasukkan ke dalam satu sumur tua, kemudian
ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dan TNI-Angkatan Darat
adalah sebagai berikut:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad)
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman / Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasütion yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. ia gugur pada saat gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution. Pada waktu bersamaan, G3OS/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Kedua perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa Kentungan yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta.
3. PENUMPASAN G3OS/PKI
Operasi penumpasan G3OS/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965
diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah
yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di
sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum
Gerakan 30 September. Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan
Batalyon 503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro.
Anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya berhasil disadarkan dari
keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik
ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota pasukan
Batalyon 545 / Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00
WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana
Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan
sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu,
pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung
telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa
terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan
Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dan
mengamankan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Batalyon I Kavaleri
berhasil mengamankan BNI Unit I dan percetakan uang negara di daerah
Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada
tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai
kembali oleh ABRI dan kekuatan G3OS/PKI yang memberontak telah berhasil
dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang
terlibat dalam G3OS/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Di
antaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal
Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya
usaha perebutan kekuasaam Usaha perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh
gerombolan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September 1965” serta
penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat Sementara itu
Presiden dan Menko Hankam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan
pula bahwa di antara Angkatan Darat Angkatan Laut dan Kepolisian telah
terjadi saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G3OS/PKI. Mayjen
Soeharto juga menganjurkan kepada rakvat Indonesia agar tetap tenang dan
waspada. Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G3OS/PKI
berada di sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma. maka Iangkah
berikutnya adalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dan tangan
G3OS/PKI. Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim
Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan. untuk menjaga keselamatannya
apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan
pendukung G3OS/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan udara Halim
Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan halim Perdana Kusuma menuju
Istana Bogor. Sedangan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon
238 Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak
menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga
kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan
Kesejahteraan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di
Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan
simpang tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpang tiga Lanuma Halim Lubang
Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul 06.10 WIB tanggal 2 Oktober
1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil
dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak
senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukan gerakan
pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar
wilayah lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir
dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buava,
Ajun Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan
oleh regu penculik Brigjen Dl Pandjaitan berhasil meloloskan diri.
Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para
perwira tinggi Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sumur tua.
Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober
1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh jenazah dibawa ke
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk
dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Keesokan harinya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5
Oktober 1965, jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi, serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi,
anumerta. Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober
1965, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada
seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk
mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing serta
hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan
meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan
nasional. Selain itu, diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk
sementara waktu dipegang oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dan untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk
sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad.
Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di
luar Halim. Oleh karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata
cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara
memegang pimpinan Angkatan Darat.
4. PEMULIHAN KEAMANAN DAN
KETERTIBAN
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada
tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dan
seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa
pimpinan Angkatan Darat Iangsung berada di tangan presiden. Untuk
menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan
ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi
tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terkait dengan
G3OS/PKI. Keputusan itu diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30, pada
tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah
tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan
pengangkatan dirinya selaku pelaksana pemulihan keamanan dan ketertiban
yang akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kebijakan Presiden
Soekarno mengenai penyelesaian G3OS/PKI dinyatakan dalam sidang
paripurna Kabmet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor sebagai
berikut:
“Presiden/Panglima Tertinggi ABRJ/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bisa mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain.”
Dalam rangka penyelesaian masalah G3OS / PKI digariskan beberapa
kebijakan, di antaranya aspek politik diselesaikan oleh presiden, aspek
militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta
penyelesaian aspek militer teknis, masalah keamanan dan ketertiban
diserahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan
presiden yang mengutuk G3OS/PKI dan diduga PKI yang mendalangi atau
berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat
terhadap PKI semakin meningkat. Antara lain dengan dibakamya gedung
Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan
kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi corat-coret menuntut
pimpinan PKI diadili dan demostrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori
oleh mahasiswa, pelajar dan organisasi massa (ormas) yang setia kepada
Pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G3OS/PKI
terus ditingkatkan. Koloriel A. Latief, komandan yang telah dipecat dan
Brigade Infantri/Kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal
dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI
makin kuat terungkap sebagai dalang peristiwa G3OS/PKI, dan demonstrasi
yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno
belum bertindak Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum
juga bertindak mengambil langkah-langkah ke arah penyelesaian politik
dan masalah G3OS/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikannva. D.N.
Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dan Blitar mengirim
surat kepada presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanva
pernyataan-pemyataan yang sifatnya mengutuk G3OS/PKI, serta melarang
adanya saling menuduh atau saling menyalahkan. Dengan demikian
diharapkan amarah rakyat kepada PKI semakin mereda. Pernyataan ternyata
tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI
beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam juga turut
membekukan PKI beserta organisasi massanya (ormasnya).
5.
PENUMPASAN G3OS/PKI DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA
Ketika meletus G3OS/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di
Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak G3OS/PKI
mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum
kaum G3OS/PKI itu tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata. Kodam
VII / Diponegoro memiliki tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai
hasil penggarapan Biro Khusus PKI , anggota Brigade 4 dipergunakan oleh
kaum G3OS/PKI sedangkan anggota Brigade 5 hanya sedikit yang berhasil
dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh oleh mereka.
Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum G3OS/PKI adalah Batalyon K
dan M yang berkedudukan di Solo. Batalyon L dan C berkedudukan di
Yogyakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Setelah G3OS/PKI bergerak di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965
gerakan itu juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah. Munculnya
G305/PKI di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang. Melalui RRI
Semarang itu, Asisten Kodam Vil/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan
dukungannya terhadap G305/PKI pada daerah Tingkat I Jawa Tengah. Mereka
berhasil menguasai Markas Kodam Vil/Diponegoro dan kemudian dijadikan
markas serta meluaskan gerakannya ke seluruh Korem dan Brigade di
lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Di samping itu, G3OS/PKI mendatangkan
pasukan pelindung, di antaranya dan Solo, Batalyon K di bawah pimpinan
Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan Mayor
Supardi. Pasukan ini ditempatkan di tempat-tempat strategis terutama di
Makodam, RRI dan telekomunikasi. Selanjutnya, Kolonel Sahirman
mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan
Kodam Vil/Diponegoro dan di beberapa tempat pendukungnya mengambil alih
pimpman setempat, di antaranya:
a.
Markas Komando Resort Militer (Makorem) 071/Purwokerto dipimpin oleh Kepala
Staf Letnan Kolonel Soemito.
b.
Makorem 072/Yogvakarta dipunpm oleh Kepala Seksi 5 Mayor Mulyono.
c.
Markas Brigade Infantri 6 dipimpin oleh Komandan Kompi Markas, Kapten Mintarso.
Dewan Revolusi Yogvakarta mengumumkan
melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 bahwa yang menjadi Ketua G3OS/PKI di
Yogyakarta adalah Mayor Mulyono. Dengan mempergunakan kekuatan Batalyon L,
mereka menguasai Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono.
Selanjutnya mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Muter
(Kodim) supaya mendukung G3OS/PKI. Mereka juga membagi-bagikan senjata kepada
anggota Legiun Veteran setempat. Pada
tanggal 2 Oktober 1965, terjadi demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya
di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungannya kepada Gerakan 30 September
1965. Pada hari itu juga Komandan Korem 072 Kolonel Katamso diculik dan
rumahnya dan dibawa ke kompleks Batalyon L di desa Kentungan, sebelah utara
kota Yogyakarta. Selanjutnya Kolonel Katamso bersama Letnan Kolonel Sugijono
dibunuh oleh anggota G3OS/PKI. Dengan
kekuatan Batalyon M, G3OS/PKI juga melakukan gerakannya di Solo. Gerakan itu
diawali dengan penculikan. Mereka menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari,
Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor
Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto dan
Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan, mereka juga
melakukan pendudukan terhadap
kantor RRI, telekomunikasi dan bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali
Kota Solo, Oetomo Ramelan, melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G3OS/PKI.
Daerah Surakarta diliputi suasana pemberontakan. Rakyat yang bukan anggota PKI atau
organisasi satelitnya merasa ketakutan dan khawatir. Sementara itu, polisi
belum bertindak mereka hanya mengamati kegiatan yang dilakukan PKI dan
organisasi massanya. Hal ini disebabkan polisi hanya memiliki kekuatan satu
kompi Brimob dan satu kompi Perintis. Demikian juga tentara pelajar yang bergabung dalam
organisasi GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-jita Prokiamasi) sebanyak 50 orang serta
organisasi massa golongan nasionalis dan agama. Mereka masih pasif dalam menghadapi
kekuatan massa G3OS/PKI yang mendapat perlindungan dan oknum-oknuni Brigade 6.Oleh
karena itu, Pangdam VII/Diponegoro, Brigadir Jenderal Surjosumpeno, setelah
mendengar pengumuman letnan Kolonel Untung melalui radio, segera memanggil perwira
stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah untuk mengadakan taklimat (briefing). Pangdam memerintahkan kepada para pejabat supaya
tetap tenang dan berusaha untuk menenangkan rakyat, karena situasi yang
sebenarnya belum diketahui. Ia berangkat ke Salatiga untuk mengadakan taklimaf
yang sama dan direncanakan akan terus ke Magelang. Asisten 2, Letnan Kolonel
Soeprapto diperintahkan untuk mengadakan taklimat (briefing) di Solo. Namun
ketika Pangdam VII/Diponegoro tidak berada di
Semarang, Kolonel Sahirman mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan
Kolonel Usman mengambil alih pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
5.
PENUMPASAN G3OS/PKI DI SOLO
Ketika sampai di Salatiga, Brigjen Surjosumpeno menghadapi kenyataan bahwa kota tersebut telah dikuasai oleh G3OS/PKI. Atas saran Letkol Soeprapto (yang tidak jadi berangkat ke Solo, karena sudah ada informasi bahwa kota Solo juga telah dikuasai oleh G3OS / PKI), Brigjen Surjosumpeno berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan. Pasukan di Garnisun Magelang tidak terpengaruh oleh G3OS/PKI. Oleh karena itu, Panglima Daerah VII/ Diponegoro segera mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan untuk menggerakkan pasukan dalam upaya menumpas G3OS/PKI itu. Pasukan yang digunakan di antaranya adalah:
Ketika sampai di Salatiga, Brigjen Surjosumpeno menghadapi kenyataan bahwa kota tersebut telah dikuasai oleh G3OS/PKI. Atas saran Letkol Soeprapto (yang tidak jadi berangkat ke Solo, karena sudah ada informasi bahwa kota Solo juga telah dikuasai oleh G3OS / PKI), Brigjen Surjosumpeno berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan. Pasukan di Garnisun Magelang tidak terpengaruh oleh G3OS/PKI. Oleh karena itu, Panglima Daerah VII/ Diponegoro segera mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan untuk menggerakkan pasukan dalam upaya menumpas G3OS/PKI itu. Pasukan yang digunakan di antaranya adalah:
a. Batalyon Kavaleri 2 yang berkedudukan di Magelang.b. Batalyon Artileri Medan 3 yang berkedudukan di Magelang.c. Batalyon Artileri Medan 9 yang berkedudukan di Magelang.d. Batalyon 4 yang berkedudukan di Medane. Batalyon Zeni Tempur 2/Para yang berkedudukan di Magelang.f. Sebagian anggota Batalyon 4 yang berkedudukan di Gombong.g. Sebagian Batalyon 3/Para yang berkedudukan di Semarang.
Gerakan operasi penumpasan dimulai pada
tanggal 2 Oktober 1965. Pasukan mulai bergerak pada pukul 05.00 W1B untuk
membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR (Bronero Transportasi),
yaitu kendaraan yang mengangkut personel kavaleri pimpinan Letnan Kolonel Jassin
Husein dan satu’Batalyon Artileri Medan dengan tugas infantri.Setelah ada siaran RRI Jakarta, bahwa
Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI, sedangkan pasukan yang
digunakan oleh G3OS/PKI mulai tidak kompak. Kota Semarang berhasil dikuasai
kembali oleh pasukan ABRI tanpa letupan senjata. Kolonel Sahirman, dkk
melarikan diri ke luar kota dikawal oleh dua kompi anggota Batalyon K pimpinan
Mayor Kadri. Dua
kompi anggota Batalyon K lamnya dan dua kompi anggota Batalyon D dapat
disadarkan kembali dan keterlibatannya dengan G3OS/PKI. Pukul 10.00 WIB han itu
juga (tanggal 2 Oktober 1965) Pangdam Vil/Diponegoro melalui RRI mengumumkan
bahwa Pangdam telah kembali memegang pimpinan Kodam VII / Diponegoro.
Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali, sehingga pada tanggal 5 Oktober 1965 garis Komando Kodam VII/Diponegoro telah dipulihkan kembali. Untuk memantapkan konsolidasi Kodam VII / Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam mengadakan taklimat secara simultan dengan komandan-komandan pleto di kota Salatiga, Solo dan Yogyakarta. Dengan demikian, secara fisik militer, pemulihan keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah selesai. Namun kemudian timbul gerakan pengacau, sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap golongan yang menentang G3OS/PKI. Daerah Jawa Tengah merupakan daerah garis PKI yang kuat. Oleh karena itulah, Ketua CC PKI, D.N. Aidit memilih Jawa Tengah sebagai tempat pelariannya.
Untuk mengatasi kekacauan dan menegakkan
ketertiban umum, Pangdam VII / Diponegoro berangkat dan Jakarta tanggal 16
Oktober 1965, dan dengan bantuan RPKAD serta pasukan kaveleri mereka tiba di
Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Daerah Jawa Tengah yang dianggap paling gawat
dan merupakan basis G3OS/PKI adalah daerah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.
Untuk mengintensifkan gerakan pembersihan
terhadap sisa-sisa G3OS/PKI di Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1965
dibentuk Komando Operasi Merapi.
Operasi Merapi ini langsung dipimpin oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi
Wibowo. Dalam operasi itu pimpinan G3OS/PKI Jawa Tengah seperti Kolonel
Sahirman, Kolonel Maryono dan Kapten Sukarno
berhasil
ditembak mati. Dengan keberhasilan itu, pada tanggal 30 Desember 1965 pasukan
RPKAD ditarik kembali dan Jawa Tengah ke pangkalannya di Jakarta. Kemudian
pemulihan keamanan dan ketertiban dilanjutkan dalam rangka peperda pembersihan organisasi politik dan organisasi massa
pendukung G305 /PKI.
Pembersihan terhadap G3OS/PKI itu juga
dilakukan di daerah Blitar Selatan. Gerakan pembersihan itu diberi nama Operasi
Trisula yang dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu memakan waktu
satu setengah bulan dan berhasil menangkap 850 orang PKI yang mendukung
G3OS/PKI. Mereka yang tertangkap itu di antaranya 13 orang tokoh tingkat CC dan
12 orang tokoh tingkat CDB. Operasi penumpasan terhadap pendukung gelap G3OS/PKI
dan PKI gelap juga dilakukan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu di
daerah pegunungan Lawu dan Kendeng. Operasi itu berhasil menangkap 200 orang
kader PKI. Selain itu terdapat operasi penumpasan di daerah Purwodadi setelah
tercium bahwa PKI gelap membangun STPR (Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat).
Diketahui pula PKI gelap memindahkan kegiatannya di daerah kompleks Merapi
Merbabu (MMC). Dalam operasi yang dilancarkan di daerah itu berhasil ditangkap Pono
(Supono Mrsudidjojo), orang kedua dalam biro khusus PKI.
Sementara itu, operasi penumpasan
G3OS/PKI yang dilakukan di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan Gerakan Operasi Territorial. Operasi itu
dilakukan dengan menangkapi tokoh-tokoh organisasi politik dan organisasi massa
PKI. Pada daerah-daerah itu para pendukung G3OS/PKI belum sempat mengadakan
gerakan perebutan kekuasaan, hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul
kekacauan dengan terjadinya penculikan dan pembunuhan. Namun, dalam waktu
singkat gerakan itu dapat dilumpuhkan. Secara keseluruhan pemberontakan yang
menamakan G3OS/PKI yang ditenggarai didukung oleh PKI telah berhasil ditumpas.
Bahkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah untuk berdiridi
Republik Indonesia.